Sudahkah kita memahami pengertian atau makna dari setiap kata atau istilah yang kita ucapkan? Apakah pengertian atau pemahaman kita terhadap sebuah kata atau istilah sudah benar? Dari mana kita mengambil pengertian tersebut? Dari kamus bahasa atau pemahaman-pemahaman yang telah diberikan kepada kita melalui pendidikan formal maupun nonformal? Sejauh mana pemahaman kita terhadap suatu kata atau istilah telah mempengaruhi paradigma kita terhadap hidup dan kehidupan?.

Mari kita ambil satu contoh istilah yang telah populer di masyarakat, yaitu istilah kebutuhan pokok. Jika kita mendengar istilah kebutuhan pokok, apa yang terlintas dalam benak kita?. Bagaimana pemahaman kita terhadap istilah ini? Sebagian besar dari kita akan menjawab kebutuhan pokok adalah sandang, pangan, papan. Mengapa jawabannya seperti itu?. Seingat saya pengertian kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) saya dapat sewaktu SD atau SMP, kalau tidak salah dalam pelajaran ekonomi dan di beberapa mata pelajaran lainnya yang terkait.

Apa sih kebutuhan itu?. Menurut saya kebutuhan adalah sesuatu yang diperlukan seseorang atau kelompok untuk menunjang kehidupannya.

Apa sih pokok itu?. Pokok adalah wajib atau yang utama, wajib itu harus (ada), kalau tidak ada ya mesti diusahakan agar ada, demikian kurang lebih pengertiannya. (Karena saya tidak punya kamus besar bahasa Indonesia jadi maaf jika pengertiannya tidak dalam bahasa yang ilmiah).

Dari pengertian atau pemahaman tentang kebutuhan pokok yang kita dapat sewaktu SD atau SMP tersirat bahkan tersurat sangat bernuansa “jasadi” atau fisik atau material semata. Kebutuhan akan nilai-nilai mulia dalam hidup sama sekali tidak dikategorikan sebagai kebutuhan pokok. Pemahaman mengenai kebutuhan pokok pada sebagian orang demikian mendarah daging hingga mewarnai hidupnya kala dewasa. Mereka mengerahkan segenap kemampuan untuk memenuhi tiga kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan), walaupun mereka menjalankan ibadah kepada Tuhannya namun antara ibadah dan pemenuhan kebutuhan pokok adalah sesuatu yang terpisah tidak terintegrasi menjadi satu kesatuan yang utuh. Mungkin karena itu banyak tipe orang yang taat beribadah namun pola pikir atau pola kerjanya masih materialistis. Bahkan ada yang materialistis tulen, segala sesuatunya diukur berdasarkan kemapanan materi, karena mereka menganggap hal-hal tersebut adalah yang pokok, dimana keberadaannya harus ada.

Jika demikian, salahkah pemahaman kita selama ini tentang kebutuhan pokok? Jawabnya bukan salah namun kurang tepat. Menurut pendapat saya, semestinya kebutuhan pokok yang pertama adalah kebutuhan kita akan Tuhan, kebutuhan akan nilai-nilai mulia yang dapat menghantarkan kita pada pertemuan yang indah dengan Tuhan kita yang telah memberikan segenap fasilitas pemenuhan kebutuhan kita, yaitu Alloh Ta Ala. Menurut pendapat saya, jika kebutuhan mulia tersebut telah terpenuhi maka kebutuhan-kebutuhan yang lain seperti sandang, pangan, papan dapat kita raih dengan kualitas yang baik, ingat kualitas yang baik adalah prioritas yang semestinya diutamakan. Bagaimana bisa seperti itu? Iya, dengan dekat kepada Alloh Ta Ala, dengan menyerap segenap nilai-nilai mulia maka diri kita akan menjadi manusia yang mampu bersikap bijak dalam setiap situasi, dengan kebijaksanaan diri maka segenap langkah akan bermakna dan menghasilkan sesuatu yang bernilai baik.

Ingatlah, diri kita bukan hanya sekedar fisik yang hidup secara biologis semata, ada jiwa di dalamnya yang perlu dipenuhi kebutuhannya. Ingatlah, tatkala fisik tak lagi mampu beraktifitas layaknya mahluk hidup, jiwa kita akan senantiasa menjalani proses menuju level selanjutnya dari siklus kehidupan. Karena itu, semestinya kebutuhan jiwa akan nilai-nilai mulia yang dapat membahagiakan dalam nuansa kedamaian senantiasa menjadi perhatian kita.

Pemahaman akan istilah kebutuhan pokok adalah salah satu dari sekian banyak istilah yang saya “gugat”. Saya berharap dari hari ke hari saya mendapatkan pemahaman-pemahaman yang dapat menghantarkan saya pada kebahagiaan yang sebenarnya hingga senyum dapat tercipta kala hari menghadap Ilahi datang pada diri ini.

Demikian, mohon maaf jika tidak sependapat dengan pembaca.

“Thanks to all of my books”.